Rabu, 20 Maret 2013

Endorsement "Malam Sekopi Sunyi"

"Kumpulan puisi ini boleh dikatakan merupakan antologi sunyi. Bukan saja karena kata "sunyi" bertaburan, melainkan pula karena sunyi diperlakukan sebagai sosok yang memiliki berbagai macam kepribadian. Kadang sunyi serupa kekasih yang dirindukan. Kadang serupa pengembara muda yang gelisah berkepanjangan. Kadang serupa musuh yang jahat dan mematikan. Kadang seperti ketegaran dan ketenangan yang angkuh dan tak tergoyahkan. Kadang seperti surga yang memabukkan. Kadang seperti ruang samadi yang mendamaikan. Kadang seperti kehampaan yang menyesakkan. Membaca sunyi dalam berbagai rupa ibarat mengulik misteri hati manusia yang pelik dan mudah berubah-ubah warna. Barangkali hati manusia seumpama secangkir kopi di malam hari yang mengandung campur-aduk rasa sunyi".
Joko Pinurbo – Penyair Yogyakarta dan penyuka kopi

"Ada bunga mekar dalam puisimu. Itu sudah lebih dari cukup memberikan harapan di pagi hari. Senang rasanya masih melihat ada puisi tercipta. Apa jadinya jika semua orang menganggap bahwa puisi itu sekedar sia-sia. Maka bumi yang basah dan kering tiada yang memuji. Semua mengutuknya dengan kata-kata kasar yang tidak layak diucapkan bahkan dibatin. Terima kasih masih menulis puisi-puisi indah".
Aida Vyasa – Penulis Solo. Penulis novel Taman Sunyi Sekala (2006)

“Membaca puisi Ekohm yang sunyi dan kadang penuh teka-teki, selalu akan kembali teringat pada hitam kopi. Dari kopi itu imajinasinya bergerak ikuti aroma kopi tapi tetap tak meninggalkan senyap. Sepi atau senyap itu tetap dibawa ke mana saja sajak Ekohm ini akan pergi berjalan. Apalagi jika kopi itu sudah dingin, maka akan makin menyayat sepi sajak itu”.
Puitri Hati Ningsih – Penyair Solo. Penulis puisi Kitab Diri (2009) dan Sajak Bunga Vanili (2012). Bergiat di Pawon Sastra Solo 

“Puisi adalah ruang belajar bagi penulisnya yang selalu meluas dan tak habis-habisnya. Lewat kumpulan puisi ini, Ekohm Abiyasa menasbihkan itu. Ia berikhtiar mengeksplorasi hal-hal sehari-hari seiring dengan riak hati dan galau batinnya. Dan saya yakin ia tidak akan berhenti saja di situ. Seperti sebuah tugu, ia akan menjelajah lagi kemungkinan-kemungkinan puitika yang belum dirambahnya untuk menjadikannya ruang eksplorasi baru, sekaligus eksperimentasi”.
Mashuri – Penyair Jawa Timur. Penulis puisi Ngaceng (2007) dan Munajat Buaya Darat (2013)

“Kesunyian bagi penyair adalah kegaduhan kata-kata. Kesunyian bukan kebisuan yang tak terbahasakan. Ekohm Abiyasa sebagai penyair telah membuktikan hal ini dalam Malam Sekopi Sunyi. Dalam kumpulan puisi ini, kita bisa mendengar dan membaca rajah sunyi dalam diri penyairnya. Kesunyian yang mencari suaranya sendiri melalui puisi”.
Gunawan Tri Atmodjo – Penyair, cerpenis Solo dan penikmat sastra

“Selepas membaca puisi Ekohm, saya merasa dalam diri si penyair, beban malam tetap di sana. Tak beranjak dari tempatnya. Penyair berani mengurai bagian yang paling jauh, tak terangkai dan tak terurai dari kesunyiannya itu. Tetapi tidak berani membebaskan aku-naturnya dari belenggu aku-kulturnya. Terlepas dari itu, seperti judulnya yang puitik, Malam masih seperti kopi yang dalam hal ini saya artikan sebagai dekonstruksi tubuh -menjernihkan pikiran, mengalirkan ingatan yang tak selesai dan membuat mata membelalak-, untuk mengukur ruang kepenyairannya sendiri”.
Sartika Dian Nuraini – Esais Solo. Penulis puisi Sound of Psyche (2013)

“Pertama kali membaca deretan sajak pada Malam Sekopi Sunyi saya merasakan ketidakhadiran pengejaan. Saya merasa tidak membaca apapun. Tetapi semakin saya telusuri tiap sajak, saya semakin yakin bahwa tidak ada yang terbaca. Hanya alami: ditempatkan pada kesunyian, lanskap sepi, kebersyukuran. Ekohm, seperti membuatkan mitos lawas. Ya lawas: puisi, kadangkala seperti perangkap jumanji”.
Btara Kawi – Penyair dan esais Yogyakarta. Bergiat di Sanggar Sastra Jawa Yogyakarta

“Menikmati sekopi sunyi di malam buta membuatku terbunuh sepi”.
Jeni Fitriasha – Penikmat sastra, Padang. Puisi dan cerpennya termaktub dalam Kopi Hujan Pagi (2012), Komunitas Paragraf

“Radif. Terkadang kokoh, terkadang goyah. Tetapi tetap saja ia mengulang jangkar kata yang sama, seolah hendak menunjukkan ke "aku-an"nya (khas Ekohm Abiyasa). Selalu saja malam menawarkan pesona. Kerlap-kerlip lampu yang bertarung atas nama ramai dan sunyi, akan membuat Anda menjadi penonton setia dan tiba-tiba saja berujar "Sial!, kapan lagi Ekohm menulis puisi?". Untuk membuktikan kata-kata saya, baca saja buku ini”.
Muhammad Asqalani eNeSTe – Penyair Riau asal Peringgonan. Buku ketiganya bernama "ABUSIA”

Di luar buku
Malam Sekopi Sunyi telah menjadi saksi sejarah jejak kepenyairan Ekohm Abiyasa sebagai penyair muda yang tak mau mati sia-sia tanpa meninggalkan makna bagi generasi berikutnya. Ia pun telah mengamalkan Surat al-'Alaq ayat 1-5 dan Surat al-Qalam ayat 1-2 dengan kelahiran Malam Sekopi Sunyi. Terlepas karya tersebut mendapat tempat atau digugat oleh pembacanya. Paling tidak, ia telah menandai waktu bahwa ia pernah hidup. Malam Sekopi Sunyi adalah pergolakan batin penyairnya dalam memaknai kehidupan. Selamat menjadi saksi sejarah dengan membaca dan menelaah kehadiran buah pena yang lahir dari tangan Ekohm Abiyasa”.
Moh. Ghufron Cholid – Penyair Madura. Pendiri Dengan Puisi Kutebar Cinta di Facebook

4 komentar:

  1. Bagaimana cara mendapatkan buku ini ?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Silakan pesen ke penerbitnya,

      sms ke: 0857 496 54481
      Format sms: judul buku_jumlah eksemplar_nama_alamat lengkap

      http://mozaikindie.wordpress.com/2013/04/02/launching-malam-sekopi-sunyi

      Heheh.. Makasih sudah mampir :D

      ^^

      Hapus
  2. Sama-sama,
    Oh iya, Selamat hari buku sedunia.
    Semoga makin banyak buku yang bisa diterbitkan lagi.

    BalasHapus