Kopi dan Puisi
Arif Saifudin Yudistira*)
Kopi
membuat matamu menyala, susu membuat matamu manja— Jokpin dalam Haduh, Aku di Follow(2013). Ekohm
sepertinya memgamini sajak pendek dari Jokpin itu. Kopi adalah kosmologi untuk
mendefinisikan malam, mendefinisikan kesunyian dan kesepian. Ratapan
kebahagiaan, kerinduan, cinta, ataupun kegelisahan ada dalam kopi, dan malam
hari. Dari sinilah kita bisa menyimak, bahwa kosmologi malam, kopi dan puisi
tidak bisa dipisahkan begitu saja. Simaklah sajak berikut : kopi, hujan, puisi dan mantra ajaib/menuju
malam yang gaib (Malam). Dalam puisi
ini kita bisa melihat penyair tertib melakukan pencatatan dan sekaligus
terjebak dalam urusan irama. Saya akan memilih menggubah puisi itu lebih cantik
dengan seperti ini : kopi, dan puisi
adalah mantra ajaib/ menuju malam yang ghalib(Malam). Terlepas dari hal itu, meminjam istilah dari Sutan takdir
Alisjahbana yang menguraikan bahwa tepat atau tidaknya kiasan itu menjelma
perasaan,selaras atau tidaknya ia dengan gerak kalbu, itulah yang memastikan
keindahan syair(Alisjahbana, 1977:25).
Urusan kopi, malam dan puisi
barangkali adalah kesatuan ritmis yang indah bila dipadukan dan diresapi oleh
penyair. Malam adalah doa bagi lahirnya imajinasi dan mantera. Eko mencatat
kesunyian dan perasaan itu dalam malam-malam yang menggunakan kopi sebagai
pintu masuk. Sekopi : sehitam kopi menjamahi malam/ menuju kopi
rindu yang hitam. Puisi-puisi eko
bisa dilihat sebagai tangkapan dan rekaman jejak perasaan penyairnya yang
cenderung belum mau keluar dari aku internal. Yang oleh Dian disampaikan dalam
catatannya, akan tetapi bila Eko mau sedikit bersabar dan melakukan permenungan
lebih dalam, ia akan menemukan cinta dan puisi itu adalah kesatuan yang tak
bisa dipisahkan. Sebagaimana yang ada dalam novel The
Various Flavors of Coffee, rasa cinta dalam kopi yang
mengutarakan betapa nikmatnya mencercap kopi dan cinta secara bersamaan. Ini
tak hanya tentang kepekaan dan kenikmatan, tapi juga tentang kedalaman
pengalaman. Pengalaman sangat penting
dalam mengembangkan bahasa lengkap untuk rasa, dan pemahaman utuh tentang
banyak nuansa rasa yang bersembunyi di latar belakang bau pada umumnya, dan
sensasi rasa khusus yang kita kenal sebagai kopi. Memperoleh pengalaman seperti
ini butuh waktu. Tidak ada jalan pintas.—Lingle, The Coffee Cupper’s Handbook (hal.534).
Begitupun
dalam puisi, rasanya tidak pas bila kita melakukan jalan pintas untuk urusan
membuat puisi. Meski demikian, saya tidak mengatakan puisi Eko adalah sebuah
jalan pintas tentang kopi , malam dan puisi. Kita bisa menyimak sajak yang
bagiku adalah puisi yang matang. Tubuh
kita adalah puisi/bertautan dalam kepul asap secangkir kopi/ kita sering
melukis pelangi/ dengan ampas kopi sisa senggama(Birahi). Puisi ini saya
pikir cukup untuk menjelaskan betapa keliaran imajinasi penyair bertaut dengan
aku “internal”. Sayang sekali Eko seperti tak mau puas, ia tambah larik
dibelakangnya yang menurut saya mengganggu. Puisi tak harus panjang, sebab
kiasan itu bertaut erat dengan perasaan. Bisa jadi adalah kecerobohan bila kita
menggunakan kata untuk memenuhi keindahan dan ketertarikan kita pada diksi dan
bunyi. Diksi dan bunyi tanpa dipadukan dengan perasaan bagi penyair adalah
musuh untuk menghidupkan jiwa puisi itu sendiri.
Godaan
atau Kecerobohan
Diksi, bunyi, dan ketukan adalah
godaan sekaligus adalah kecerobohan dalam berpuisi. Ia bisa jadi membuat puisi
menjadi semakin cantik, unik, dan menarik. Tapi bisa jadi ia justru membuat
hambar. Saya tak mencoba mengatakan ini adalah urusan selera, sebab kedalaman
perasaan bisa kita miliki bersama. Meminjam istilah dari penyair kelahiran
Skotlandia Robert Louis Stevenson yang mengatakan : “sisi lemah dari puisi
terletak pada keteraturan ketukan, yang didakwa kurang impresif ketimbang
pergerakan prosa yang mulia; dan hanya disisi lemah ini, dan hanya di satu ini,
para penulis ceroboh kita terperosok”.
Dalam
kumpulan Malam Sekopi Sunyi ini, saya kurang bisa menikmati keteraturan ketukan
itu, seperti yang ada dalam puisi berjudul
Seperti Ampas Kopi : segelas kopi
selesai kubikin/menyesap rindumu
kuingin/seperti panas kopi ini/mengulang-ngulang rindu yang makin
mendaki. Atau dalam puisi Pualam Sunyi : rindu ini legam hitam/searoma
kopi /yang mengepul asapnya/cinta ini keras pualam/sekawan dengan batu-batu sunyi/ yang memiliki keteguhan dari
marabahaya.
Sekali
lagi urusan ketukan tak hanya urusan keindahan, tanpa dipadu dengan perasaan
dan kedalaman, kopi dan puisi bisa jadi pahit sekali. Tapi dengan perasaan, dan
kedalaman kopi bisa jadi manis dan bertabur keindahan dan cinta. Puisi Eko
adalah rujukan dan pijakan bagi kita yang ingin mencipta puisi bersama
kenikmatan malam bersama secangkir kopi. Mungkin.