Kamis, 21 Maret 2013

Ulasan Malam Sekopi Sunyi; Kopi dan Puisi oleh Arif Saifudin Yudistira

Kopi dan Puisi
Arif Saifudin Yudistira*)

            Kopi membuat matamu menyala, susu membuat matamu manja— Jokpin dalam Haduh, Aku di Follow(2013). Ekohm sepertinya memgamini sajak pendek dari Jokpin itu. Kopi adalah kosmologi untuk mendefinisikan malam, mendefinisikan kesunyian dan kesepian. Ratapan kebahagiaan, kerinduan, cinta, ataupun kegelisahan ada dalam kopi, dan malam hari. Dari sinilah kita bisa menyimak, bahwa kosmologi malam, kopi dan puisi tidak bisa dipisahkan begitu saja. Simaklah sajak berikut : kopi, hujan, puisi dan mantra ajaib/menuju malam yang gaib (Malam). Dalam puisi ini kita bisa melihat penyair tertib melakukan pencatatan dan sekaligus terjebak dalam urusan irama. Saya akan memilih menggubah puisi itu lebih cantik dengan seperti ini : kopi, dan puisi adalah mantra ajaib/ menuju malam yang ghalib(Malam). Terlepas dari hal itu, meminjam istilah dari Sutan takdir Alisjahbana yang menguraikan bahwa tepat atau tidaknya kiasan itu menjelma perasaan,selaras atau tidaknya ia dengan gerak kalbu, itulah yang memastikan keindahan syair(Alisjahbana, 1977:25).
            Urusan kopi, malam dan puisi barangkali adalah kesatuan ritmis yang indah bila dipadukan dan diresapi oleh penyair. Malam adalah doa bagi lahirnya imajinasi dan mantera. Eko mencatat kesunyian dan perasaan itu dalam malam-malam yang menggunakan kopi sebagai pintu masuk. Sekopi : sehitam kopi menjamahi malam/ menuju kopi rindu yang hitam.  Puisi-puisi eko bisa dilihat sebagai tangkapan dan rekaman jejak perasaan penyairnya yang cenderung belum mau keluar dari aku internal. Yang oleh Dian disampaikan dalam catatannya, akan tetapi bila Eko mau sedikit bersabar dan melakukan permenungan lebih dalam, ia akan menemukan cinta dan puisi itu adalah kesatuan yang tak bisa dipisahkan. Sebagaimana yang ada dalam novel The Various Flavors of Coffee, rasa cinta dalam kopi yang mengutarakan betapa nikmatnya mencercap kopi dan cinta secara bersamaan. Ini tak hanya tentang kepekaan dan kenikmatan, tapi juga tentang kedalaman pengalaman. Pengalaman sangat penting dalam mengembangkan bahasa lengkap untuk rasa, dan pemahaman utuh tentang banyak nuansa rasa yang bersembunyi di latar belakang bau pada umumnya, dan sensasi rasa khusus yang kita kenal sebagai kopi. Memperoleh pengalaman seperti ini butuh waktu. Tidak ada jalan pintas.—Lingle, The Coffee Cupper’s Handbook (hal.534).
            Begitupun dalam puisi, rasanya tidak pas bila kita melakukan jalan pintas untuk urusan membuat puisi. Meski demikian, saya tidak mengatakan puisi Eko adalah sebuah jalan pintas tentang kopi , malam dan puisi. Kita bisa menyimak sajak yang bagiku adalah puisi yang matang. Tubuh kita adalah puisi/bertautan dalam kepul asap secangkir kopi/ kita sering melukis pelangi/ dengan ampas kopi sisa senggama(Birahi). Puisi ini saya pikir cukup untuk menjelaskan betapa keliaran imajinasi penyair bertaut dengan aku “internal”. Sayang sekali Eko seperti tak mau puas, ia tambah larik dibelakangnya yang menurut saya mengganggu. Puisi tak harus panjang, sebab kiasan itu bertaut erat dengan perasaan. Bisa jadi adalah kecerobohan bila kita menggunakan kata untuk memenuhi keindahan dan ketertarikan kita pada diksi dan bunyi. Diksi dan bunyi tanpa dipadukan dengan perasaan bagi penyair adalah musuh untuk menghidupkan jiwa puisi itu sendiri.

Godaan atau Kecerobohan
            Diksi, bunyi, dan ketukan adalah godaan sekaligus adalah kecerobohan dalam berpuisi. Ia bisa jadi membuat puisi menjadi semakin cantik, unik, dan menarik. Tapi bisa jadi ia justru membuat hambar. Saya tak mencoba mengatakan ini adalah urusan selera, sebab kedalaman perasaan bisa kita miliki bersama. Meminjam istilah dari penyair kelahiran Skotlandia Robert Louis Stevenson yang mengatakan : “sisi lemah dari puisi terletak pada keteraturan ketukan, yang didakwa kurang impresif ketimbang pergerakan prosa yang mulia; dan hanya disisi lemah ini, dan hanya di satu ini, para penulis ceroboh kita terperosok”.
            Dalam kumpulan Malam Sekopi Sunyi ini, saya kurang bisa menikmati keteraturan ketukan itu, seperti yang ada dalam puisi berjudul Seperti Ampas Kopi : segelas kopi selesai kubikin/menyesap rindumu kuingin/seperti panas kopi ini/mengulang-ngulang rindu yang makin mendaki. Atau dalam puisi Pualam Sunyi : rindu ini legam hitam/searoma kopi /yang mengepul asapnya/cinta ini keras pualam/sekawan dengan batu-batu sunyi/ yang memiliki keteguhan dari marabahaya.
            Sekali lagi urusan ketukan tak hanya urusan keindahan, tanpa dipadu dengan perasaan dan kedalaman, kopi dan puisi bisa jadi pahit sekali. Tapi dengan perasaan, dan kedalaman kopi bisa jadi manis dan bertabur keindahan dan cinta. Puisi Eko adalah rujukan dan pijakan bagi kita yang ingin mencipta puisi bersama kenikmatan malam bersama secangkir kopi. Mungkin.

*) Pengulas adalah Santri di Bilik Literasi, Penyuka Puisi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar