Jumat, 29 November 2013

Penyair Kudus dalam Malam Sekopi Sunyi

Tahun 2009, penyair muda, Ullyl Ch mendirikan komunitas LAH, namun eksistensinya dalam berkehidupan kini semakin meredup. Entah oksigen untuk berkehidupan komunitas, diskusi, dan pergerakan-pergerakan kecil di Kudus, tidak ada? Namun, kemarin minggu malam (29/9) inisiasi dilakukan oleh beberapa pemuda yang menamai diri Komunitas jeNANG.
            Dengan dana seadanya, tanpa bantuan pemerintah, dewan kesenian, komunitas jeNANG berhasil menciptakan sedikit oksigen untuk para pelaku karya seni dan sastra di Kudus. Berkat literasi yang dilakukan komunitas jeNANG dengan beberapa komunitas di Kudus, yakni, Komunitas Saung Tawon, LPM Paradigma, dan Teater Satoesh akhirnya agenda diskusi komunitas jeNANG, bedah puisi yang kedua kali ini, Bedah Poeisi (Bepe) #2, bertajuk Malam Sekopi Sunyi di gedung PKM STAIN Kudus berhasil digelar.
            Malam, kopi, dan sunyi merupakan kata yang mempunyai pengertian yang beda namun  jika kita tarik ketiga kata tersebut, maka kita akan menemukan suatu hal yang sama diantara ketiganya. Begitulah perihal pertama yang dipaparkan oleh Dimas Indianto Sastro, Penyair asal Bumiayu, yang menjadi pembibir dalam menguak Malam Sekopi Sunyi. Bagus Burham, Direktur Komunitas jeNANG sekaligus pembibir, juga mengamininya. Selain itu, Pembibir ketiga yakni M. Rois Rinaldi, Penyair sekaligus Ketua Komite Sastra Dewan Kesenian Cilegon, ikut menghangatkan diskusi.
            Pada suasana yang hangat diskusi dijedakan untuk melihat penampilan Ali Reagge dengan musikalisasi puisinya. Dilanjutkan dengan pembacaan cerpen dari Anto, anggota LPM Paradigma. Setelah dua penampilan tersebut akhirnya sesi Malam sekopi Sunyi berbicara dimulai oleh Arafat AHC (Penyair Demak, jeNANG) dengan membacakan puisi “Jogja, Benar Engkau”. Dilanjutkan pembacaan puisi oleh Sholichuddin Al Gholany (Penyair Kudus, jeNANG), Ullyl Ch (Penyair Kudus, LAH), Fahruddin (Penyair Jepara, Saung Tawon), Arini Septiyan Irawati (Penyair Kudus, KIAS Semarang), M. Rois Rinaldi (Penyair Cilegon, Dewan Kesenian Cilegon). Tak ketinggalan band duo Kudus U2-1 urun penampilan dan mengakhiri sesi penjedaan.
            Pada sesi kedua diskusi, Gus Dimas, sapaan akkrabnya. Ia mulai pembantaiannya dengan menyulut api penghangat puisi-puisi Ekohm Abiyasa, sang empunya Malam Sekopi Sunyi, dengan mengatakan bahwa puisi-puisi Ekohm Abiyasa ini seperti ada mantra di dalamnya ketika pembaca membacakan puisinya? Namun Bagus Burham tidak mau membantai puisi-puisi Ekohm, sebab setiap pembaca berhak memuji dan menggugat puisi kepada empunya. Ia rasa kapasitasnya bukanlah sebagai pencemooh, namun sebagai penikmat yang ingin mencari kenikmatan dari ampas-ampas puisi tersebut.
                        Diskusi ini sangat unik, bukannya pembaca menggugat empunya, malah menggugat pembaca lain juga. Pada lain waktu, Fahrudin juga berceloteh bahwasanya penyair bebas menuliskan apa saja semau penyair dan tidak ada yang bisa menggugat. Mendengar celoteh itu, Gus Rois dengan tegas dan mengingatkan kepada yang lainnya bahwa hukum wajibnya penyair dalam menulis puisi adalah mengetahui tata bahasa yang baik dan benar. “Bagaimana bisa seorang yang tidak mengetahui tata bahasa yang baik dan benar mau menulis puisi berbahas Indonesia yang baik dan benar?“ Tegasnya.
            Akhirnya Sang Empu Malam Sekopi Sunyi berkoar dan menanggapi beberapa penggugatan. Ia membenarkan Gus Dimas bahwa ia memang mengidolakan Sutardji namun ia lebih condong ke pendapat Gus Rois tentang puisinya malah lebih mirip Fanshuri, sebab Fanshuri juga salah satu idolanya. Juga ia meminta maaf kepada Gus Rois bahwa ada beberapa kesalahan pada pencetakan juga pada dirinya sendiri dalam membaca ulang puisinya. Maka ia memutuskan bahwa ini adalah penanda eksistensi kepenyairannya dan ia tetap dalam proses pembelajaran kepenyairannya.
            “Meminjam quotes Pramoedya, bahwa sepandai-pandainya seseorang, selama tidak menulis maka ia akan mati dalam masyarakat dan juga sejarah. Terakhir quote dari saya, puisi adalah kehidupan itu sendiri” tutupnya selaku pembibir BePe #2 Special Malam Sekopi Sunyi. Disusul quote sang Empu, Bagus Burham, dan Rois Rinaldi.
            “Dalam diskusi ini, kita mendapatkan pelajaran bahwa seorang penyair itu bebas sebebas-bebasnya menulis puisi. Namun ia harus bertanggung jawab atas puisinya jika puisinya sudah ia publish kepada masyarakat. Penyair pula harus mengetahui tata bahasa yang ia pakai dalam puisinya, juga metafora, majas dan lain-lainnya agar pembaca tidak menggugat lagi puisi tersebut. Soal licensia puitika untuk saat ini merupakan suatu kewajaran seorang penyair dalam melukis dirinya dan untuk mengetahui perbedaan satu penyair dengan penyair lainnya, namun jika itu masih menjadi suatu persoalan pembaca, maka penyair harus bertanggung jawab untuk mensingkronisasikan perbedaan pemahaman itu. Terakhir, ini adalah penanda dalam sejarah kesusastraan Indonesia oleh Gus Ekohm, maka puisinya akan gagal bila pembaca tidak sampai pada maksud penyairnya. Namun puisi ini akan sukses bila pembaca telah sampai pada maksud penyairnya. Dan silahkan lihat Malam Sekopi Sunyi dengan sudut pandang kalian masing-masing. Biarkan puisi berbicara pada kalian masing-masing sesuai kapasitasnya masing-masing.” Tutup Arafat AHC selaku moderator. Berakhirlah diskusi kali ini dengan pembacaan Puisi oleh Sang Empunya, Ekohm Abiyasa. Setia.

Edisi VII | No. 6 | November 2013

Sumber http://gradasi-magz.sitekno.com/article/130153/penyair-kudus-dalam-malam-sekopi-sunyi.html

Makasih JPIN atas gambarnya.
* Terima kasih Gus Arafat Ahc atas infonya. Lemah teles! Salam buat para pegiat Sastra/Puisi di Demak, Kudus, Jepara dan sekitarnya. Terima kasih Gus Sholichudin Al-Gholany atas kebaikannya. Terima kasih banyak. Semoga berbalas yang lebih banyak. Terima kasih buat apresiator. Salam.

Posting lainnya,
http://malamsekopisunyi.blogspot.com/2013/09/bedah-malam-sekopi-sunyi-di-stain-kudus.html
http://serampaikata.blogspot.com/2013/10/poto-poto-diskusi-bepe-2-malam-sekopi.html