Tahun 2009, penyair muda, Ullyl Ch mendirikan
komunitas LAH, namun eksistensinya dalam berkehidupan kini semakin
meredup. Entah oksigen untuk berkehidupan komunitas, diskusi, dan
pergerakan-pergerakan kecil di Kudus, tidak ada? Namun, kemarin minggu
malam (29/9) inisiasi dilakukan oleh beberapa pemuda yang menamai diri Komunitas jeNANG.
Dengan dana seadanya, tanpa
bantuan pemerintah, dewan kesenian, komunitas jeNANG berhasil
menciptakan sedikit oksigen untuk para pelaku karya seni dan sastra di
Kudus. Berkat literasi yang dilakukan komunitas jeNANG dengan beberapa
komunitas di Kudus, yakni, Komunitas Saung Tawon, LPM Paradigma, dan
Teater Satoesh akhirnya agenda diskusi komunitas jeNANG, bedah puisi
yang kedua kali ini, Bedah Poeisi (Bepe) #2, bertajuk Malam Sekopi Sunyi di gedung PKM STAIN Kudus berhasil digelar.
Malam, kopi, dan sunyi merupakan
kata yang mempunyai pengertian yang beda namun jika kita tarik ketiga
kata tersebut, maka kita akan menemukan suatu hal yang sama diantara
ketiganya. Begitulah perihal pertama yang dipaparkan oleh Dimas Indianto
Sastro, Penyair asal Bumiayu, yang menjadi pembibir dalam menguak Malam
Sekopi Sunyi. Bagus Burham, Direktur Komunitas jeNANG sekaligus
pembibir, juga mengamininya. Selain itu, Pembibir ketiga yakni M. Rois
Rinaldi, Penyair sekaligus Ketua Komite Sastra Dewan Kesenian Cilegon,
ikut menghangatkan diskusi.
Pada suasana yang hangat diskusi
dijedakan untuk melihat penampilan Ali Reagge dengan musikalisasi
puisinya. Dilanjutkan dengan pembacaan cerpen dari Anto, anggota LPM
Paradigma. Setelah dua penampilan tersebut akhirnya sesi Malam sekopi
Sunyi berbicara dimulai oleh Arafat AHC (Penyair Demak, jeNANG) dengan
membacakan puisi “Jogja, Benar Engkau”. Dilanjutkan pembacaan puisi oleh
Sholichuddin Al Gholany (Penyair Kudus, jeNANG), Ullyl Ch (Penyair
Kudus, LAH), Fahruddin (Penyair Jepara, Saung Tawon), Arini Septiyan
Irawati (Penyair Kudus, KIAS Semarang), M. Rois Rinaldi (Penyair
Cilegon, Dewan Kesenian Cilegon). Tak ketinggalan band duo Kudus U2-1
urun penampilan dan mengakhiri sesi penjedaan.
Pada sesi kedua diskusi, Gus Dimas, sapaan akkrabnya. Ia mulai
pembantaiannya dengan menyulut api penghangat puisi-puisi Ekohm
Abiyasa, sang empunya Malam Sekopi Sunyi, dengan mengatakan bahwa
puisi-puisi Ekohm Abiyasa ini seperti ada mantra di dalamnya ketika
pembaca membacakan puisinya? Namun Bagus Burham tidak mau membantai
puisi-puisi Ekohm, sebab setiap pembaca berhak memuji dan menggugat
puisi kepada empunya. Ia rasa kapasitasnya bukanlah sebagai pencemooh,
namun sebagai penikmat yang ingin mencari kenikmatan dari ampas-ampas
puisi tersebut.
Diskusi
ini sangat unik, bukannya pembaca menggugat empunya, malah menggugat
pembaca lain juga. Pada lain waktu, Fahrudin juga berceloteh bahwasanya
penyair bebas menuliskan apa saja semau penyair dan tidak ada yang bisa
menggugat. Mendengar celoteh itu, Gus Rois dengan tegas dan mengingatkan
kepada yang lainnya bahwa hukum wajibnya penyair dalam menulis puisi
adalah mengetahui tata bahasa yang baik dan benar. “Bagaimana bisa
seorang yang tidak mengetahui tata bahasa yang baik dan benar mau
menulis puisi berbahas Indonesia yang baik dan benar?“ Tegasnya.
Akhirnya Sang Empu Malam Sekopi
Sunyi berkoar dan menanggapi beberapa penggugatan. Ia membenarkan Gus
Dimas bahwa ia memang mengidolakan Sutardji namun ia lebih condong ke
pendapat Gus Rois tentang puisinya malah lebih mirip Fanshuri, sebab
Fanshuri juga salah satu idolanya. Juga ia meminta maaf kepada Gus Rois
bahwa ada beberapa kesalahan pada pencetakan juga pada dirinya sendiri
dalam membaca ulang puisinya. Maka ia memutuskan bahwa ini adalah
penanda eksistensi kepenyairannya dan ia tetap dalam proses pembelajaran
kepenyairannya.
“Meminjam quotes Pramoedya, bahwa
sepandai-pandainya seseorang, selama tidak menulis maka ia akan mati
dalam masyarakat dan juga sejarah. Terakhir quote dari saya, puisi
adalah kehidupan itu sendiri” tutupnya selaku pembibir BePe #2 Special Malam Sekopi Sunyi. Disusul quote sang Empu, Bagus Burham, dan Rois Rinaldi.
“Dalam diskusi ini, kita mendapatkan pelajaran bahwa seorang penyair itu bebas sebebas-bebasnya
menulis puisi. Namun ia harus bertanggung jawab atas puisinya jika
puisinya sudah ia publish kepada masyarakat. Penyair pula harus
mengetahui tata bahasa yang ia pakai dalam puisinya, juga metafora,
majas dan lain-lainnya agar pembaca tidak menggugat lagi puisi tersebut.
Soal licensia puitika untuk saat ini merupakan suatu kewajaran seorang
penyair dalam melukis dirinya dan untuk mengetahui perbedaan satu
penyair dengan penyair lainnya, namun jika itu masih menjadi suatu
persoalan pembaca, maka penyair harus bertanggung jawab untuk
mensingkronisasikan perbedaan pemahaman itu. Terakhir, ini adalah
penanda dalam sejarah kesusastraan Indonesia oleh Gus Ekohm, maka
puisinya akan gagal bila pembaca tidak sampai pada maksud penyairnya.
Namun puisi ini akan sukses bila pembaca telah sampai pada maksud
penyairnya. Dan silahkan lihat Malam Sekopi Sunyi dengan sudut pandang
kalian masing-masing. Biarkan puisi berbicara pada kalian masing-masing
sesuai kapasitasnya masing-masing.” Tutup Arafat AHC selaku moderator.
Berakhirlah diskusi kali ini dengan pembacaan Puisi oleh Sang Empunya,
Ekohm Abiyasa. Setia.
Edisi VII | No. 6 | November 2013
Sumber http://gradasi-magz.sitekno.com/article/130153/penyair-kudus-dalam-malam-sekopi-sunyi.html
Makasih JPIN atas gambarnya. |
* Terima kasih Gus Arafat Ahc atas infonya. Lemah teles! Salam buat para pegiat Sastra/Puisi di Demak, Kudus, Jepara dan sekitarnya. Terima kasih Gus Sholichudin Al-Gholany atas kebaikannya. Terima kasih banyak. Semoga berbalas yang lebih banyak. Terima kasih buat apresiator. Salam.
Posting lainnya,
http://malamsekopisunyi.blogspot.com/2013/09/bedah-malam-sekopi-sunyi-di-stain-kudus.html
http://serampaikata.blogspot.com/2013/10/poto-poto-diskusi-bepe-2-malam-sekopi.html
Posting lainnya,
http://malamsekopisunyi.blogspot.com/2013/09/bedah-malam-sekopi-sunyi-di-stain-kudus.html
http://serampaikata.blogspot.com/2013/10/poto-poto-diskusi-bepe-2-malam-sekopi.html