MALAM
kopi, hujan, puisi dan mantra ajaib
menuju malam yang ghaib
Jakal KM 14 Yogyakarta, 03 November 2012
Sajak Kematian Matahari
pagi
angin berhembus dingin
gemuruh mesin kendaraan memanggil bising
matahari mencuat menerkam mata yang masih pekat, mimpi-mimpi sunyi
siang
angin berhembus sepoi
mencari teduh bayang-bayang
nyanyian kehidupan mengalun di pelataran
sekerat tekat dan keberanian
matahari mencabik, mengkristalkan keringat
sore
angin berhembus menentramkan
jejak-jejak kaki menapak di pantai
menjelang kematian, matahari mengantarkan kita sampai di sini
pulang ke rumah abadi
malam
angin berhembus muram membaca tanda-tanda temaram
tiba-tiba kita berhenti tertawa
kita lupa jalan pulang
Karanganyar-Solo, 27 November 2010
Pencuci Malam
: pencari sunyi yang berkawan dengan aroma kopi
berapakah malam yang kau pinta
hujan yang turun adalah penyeduh ilusi
berapakah sunyi yang kau rupakan?
gerimis adalah penggoda malam-malam kesepian
sebuah tempat dan sunyi kau rebus demi dahaga yang menahun
dalam kotak-kotak kamar
hitam dan putih membelah halaman rumah tua
berderet tebal halaman buku
di atas rak meja masih tertata juga
belum sempat menguliti isi dari pada daging
kita, segumpal daging
seonggok dosa dan doa mencekam
sesudah menyeduh teh panas atau kopi yang membarakan jantung
sebatang demi sebatang jadi asap lenyap di udara begitu saja
kamu kumandangkan larik-larik resah dan bungah
berharap pada tangkai-tangkai yang bertumbuh
jadi buah-buah rindu
pada siapa kau akan menjaga dan meminangnya?
Jakal KM 14 Yogyakarta, 01 Mei 2012
Kerikil-kerikil Pencerah
: Firdaus Septyan Luthfy
temaram jalanan Yogya mengantarku pada bait kesekian kisah hidup
perjalanan yang melelahkan
temanku, si hati yang gelisah
kemana lagi kerikil hidup ini akan menancap
hidup adalah engkau melempar sebuah dadu dan kau jadi pucat pasi
bukankah ini skenario kehidupan yang mesti dikunyah dan ditelaah
jangan enggan untuk mendekat
mencapai kesejukan batin yang engkau harap
bait-bait derita masih menunggu di halaman sunyi
kerikil-kerikil membawa pada pencerahan hidup
seperti bunga yang rajin menarik lebah berdatangan
Yogyakarta Undercover, 27 Oktober 2012
Catatan:
Dimuat buletin Pawon Sastra Solo, edisi #37 tahun VI/2013.
Sepucuk Pagi dan Mimpi Beku
/1/
merengkuh riuh napasmu
hati yang membelukar
semak semakin liar
ombak menepi di lautmu yang cemar
perih
rindu pun retak
aku merindu kisahmu yang hingar
merangkumnya di belantara dunia yang berkelakar
semakin derap kusapa bayangmu
kapal telah lepas jangkar
dan dadamu membekas memar
Ruang Maya,
Jakal KM 14 Yogyakarta, 28 Desember 2011
/2/
jadi tentang dingin rindu
yang
ketika kau buka pintu
udara berhembus sejuk
di dadaku
dan
pula kisah semalam
ada geletar darah yang menggebu
ini makin membunuhku
rindu pilu
Ruang Maya,
Jakal KM 14 Yogyakarta, 10 Juni 2012
Mimpi, Rindu dan Perjalanan yang Memabukkan
bertautan berkali, mati sendiri akhirnya
pucuk-pucuk mimpi dan sunyi
menggelembung kekal seperti balon udara siap terbang berkelana udara utara
ia berjalan kembali
bersakit meski
mati pula nantinya
geregetan melihat rona pelangi suka mempermainkan hati
di ujung perjumpaan
oleh sebab ketiadaan ia menghilangkan jejak-jejak yang sempat tertaut
beranda hampir musnah sekali
ketika mengingat bayang itu mencabik luka
temaram semakin gelap dan tersamarkan oleh nyali
ketakutan dan kekawatiran menjadi hidangannya
udara semakin keruh oleh kata-kata
tulisan dan nama-nama yang terpampang pada buku-buku tebal berhalaman api
tertekan oleh maut yang mengintai
derap darah yang membercak kentara
sendirian ia akan mengarungi halaman-halaman sunyi
mencoba hal-hal yang belum terpikirkan dan termimpikan olehnya
sebab udara kian jauh bila tak harus bersua
oh, kotak ini terkunci rapat sekali
sudah cukup perjumpaan ini
wajahmu pasi hai purnama
masih ada sisa waktu dan napas dalam perjalanan nanti
boleh aku berpamitan sejenak, merampungkan hening rindu dan kata-kata
sisa malam berangkatlah mencari sekerat daging yang terpisah dari jiwa
dan anggur-anggur memabukkan jati diri
o, malam dingin begini
Jakal KM 14 Yogyakarta, 09 Juni 2012
SEKOPI
sehitam kopi menjamahi malam
menuju kopi rindu yang hitam
Ruang Maya, 07 Juni 2012
Seperti Ampas Kopi
segelas kopi selesai kubikin
menyesap rindumu kuingin
seperti panas kopi ini
mengulang-ulang rindu yang makin mendaki
separuh waktu mungkin
kuhabiskan sisa-sisa napas dalam padang luas
berapa waktu yang akan kau beri?
betapa rindu mengendap seperti ampas
Jakal KM 14 Yogyakarta, 16 Maret 2012
Dalam Cangkir
rasanya ingin menggunting jarak
makin tunas rasanya, rasa yang ada
rindu yang terjalin mengerat dan berat
memindahkan tubuh pada ruang sunyi lagi
di beranda berpetak
meminjam nada-nada dan suara-suara yang disuka
kemudian mengalun dan bersenandung sendiri
selagi senja menghangat
dirimu teraduk dalam cangkir senja yang membumi
secangkir kopi dan imajinasi
kusesap dalam-dalam
dan rindu bertebaran memenuhi warna pelangi di kejauhan
Jakal KM 14 Yogyakarta, 12 April 2012
Tentang Metafora Birahi Laut
: Dino F. Umahuk
lembar demi lembar
mengayuh asin setiap goresan yang tercetak
beribu kata rapi tersusun
menghimpunkan sunyi Metafora Birahi Laut
tentang perjalanan seorang anak bahari berpagarkan rindu dan ombak-ombak
lembar demi lembar
meresap kata-kata yang tak mampu kutenggak
menjadikannya tulang sumsum dan tombak
angan dan imajiku setia berlayar di halaman-halamanmu
setiap rekahan kata-katamu adalah penegak
memburu nasib dan rasi di langit utara
Karanganyar-Solo, 28 Agustus 2008
Birahi
tubuh kita adalah puisi
bertautan dalam kepul asap secangkir kopi
kita sering melukis pelangi
dengan ampas kopi sisa senggama
mataku beradu matamu
seperti mug atau cangkir yang selalu rindu panas kopi
derai malam menjadi saksi terlalu bisu
untuk kemenangan kita mendaki birahi
Sukoharjo-Solo, 06 Desember 2012
SUNYI
sunyi tak beratur ini
sepertinya masih ingin mempermainkanku saja
aku ingin membunuhnya
sekali saja
menuju kesunyian abadi
Karanganyar-Solo, 24 April 2009
Riwayat Sunyi
riwayat yang hilang dan setumpuk catatan usang menggenangi mata
berserakan!
kertas-kertas dan abu bekas pemujaan semalam
tentang dunia ilusi yang melenakan
batu-batu bersimbah tinta
mengarsir sendiri pada nganga luka
semua ada catatan meski tiada berguna lagi
namun, mungkin nanti ada saatnya membuka kembali sejarah dan riwayat-riwayat itu
setelah sekian tahun terpendam dalam tanah liat dan gersang gurun berpasir darah
kembali pada jalan masing-masing guna menghisap dosa dan kesalahan
persembahan tak akan sia-sia meski telah dicampakkan
karena kita manusia
kita manusia
membekukan dan mencairkan
setiap kenangan adalah makna
saling bercerita satu sama lain
apakah yang kau punyai selain cinta yang semu belaka
dan apa pula yang aku bisa selain kesetiaan tiada tara
meski pula terkalahkan
mungkin hanya bualan saja
tak perlu ada usap derai air mata atau malah menertawakan kebodohan diri
seumpama rumput itu berhenti bergoyang
buat apalagi tumpahan cerita
kubuang saja dalam tong sampah biar membusuk lekas
duka yang luas, luka yang panas
lekas
lekas bias
lekas ampas
kembali membekukan kenangan dan air mata
matahari tiada lelahnya menertawakan kesendirian
boleh aku pinjam bahumu sejenak saja
ada racun di mataku, silau dan bercak bergantian
ah, robek saja mukaku
aku (tak) pernah mati
menyertaimu dengan segumpal kesetiaan
Jakal KM 14 Yogyakarta, 01 Juni 2012
Pualam Sunyi
rindu ini legam hitam
searoma dengan kopi
yang mengepul asapnya
cinta ini keras pualam
sekawan dengan batu-batu sunyi
yang memiliki keteguhan dari marabahaya
Jakal KM 14 Yogyakarta, 30 Juli 2012
Merapu Sunyi
: Murtidjono
sisa-sisa hening ini aku merapu sunyi
juga bekas jejak yang engkau tanam di tanah merah
mencaduk pesan-pesan yang engkau kirim
dalam kerlap malam jua aku bersungut memaknai semua yang kau perankan
atas segenap kisah manusia
engkau hidup terus mengalir
menguliti jalan sunyi
bahwa puisi bukan pula hal modular
yang membuat kita hanya puas terkapar begitu saja
berhenti pada titik langkah
tidak juga engkau menjadi pandik
itu yang kutangkap dari senyum senjamu
di halaman, kosong oleh rerintik air hujan
debu-debu beterbangan beradu langkah dengan cengkiak
betapa muram tanah-tanah ini
aku semakin tak mengerti
kukira maukuf saat ini
betapa pula aku ceroboh mengartikan sampaian
pesan-pesan yang engkau tawarkan
yang engkau pentaskan
namun masih ada waktu buat berkelana
akan kutautkan rindu di penghujung malam
menyegel pintu-pintu asing
berukup tepat di tengah sunyi hitam
tingkar pikiran dan kepala dengan berjuta huruf yang berderet-deret di sekeliling
engkau hidup di kedalaman makna
hingga hilang sudah sunyi menjadi embun
maserasi fajar menggertak aorta
dan mata-mata yang malas enggan beranjak
memuncak tinggi di nirwana
Jakal KM 14 Yogyakarta, 27 Maret 2012
Catatan:
Termaktub dalam Arisan Kata-17
Memesan Sunyi
kemudian mengguling-guling memesan sunyi
suara parau dari lubang hidup yang tertera di dahi
mengejang pekat rerumputan bergidik
merdu lirih kau sampaikan salam pada angin
dan suara-suara masih serak
kau titipkan juga segepok rindu dalam kepul asap yang tertiup
tak ada alasan untuk menggelengkan kepala
oh, marilah kita memesan sunyi lagi
aku rindu memegang akar yang menjuntai dari kepalamu
aku tanam dalam kerut dada yang kasat
oh, marilah kita menenggak aroma keheningan lagi
aku resah menggapai tangan yang terkulai ingin memelukmu
di ujung sesuatu, yang aku ragu menyebutkan nama apakah yang tepat
dan suara-suara masih serak
aku pun demikian menitipkan jua segepok rindu dalam kepul asap yang tertiup
tak ada alasan untuk menggelengkan kepala
Karanganyar-Solo, 06 September 2011
Melankoli Penikmat Sunyi
segumpal asap dan melankoli penikmat sunyi
hidup bukan lagi soal kata-kata belaka gih
ada garis lain yang terbujur menanti
dalam spektrum hitam dan putih*
sekerat daging dan tumpukan ludah
semakin pudar gelap dan bias
urusan rejeki bukan soal mudah
mesti berpayah tanpa menyerah lekas
Jakal KM 14 Yogyakarta, 19 Juli 2012
Catatan:
* Meminjam dalam lirik lagunya Koil, Kenyataan dalam Dunia Fantasi
Mawar dan Melati, Semerbak Sunyi
/1/
ketika matahari telah lenyap, hasrat keluar
tidak setiap hari, terkadang saja bila kata-kata dan sumpah serapah memenuhi kepala
berhamburan bagai anak panah yang melesat
menghitamkan ruang sunyi
ketika bayang-bayang telah pekat
nyala lilin kemerlap memenuhi ruang kosong
samar-samar setangkai mawar terlihat
kurawat dan kujaga dalam gemuruh jiwa temaram
tumbuhlah!
aku rindu aroma darahmu menenggelamkan sunyi
lilin membakar diri
ruang semakin sunyi dan aroma anyir merambati tubuhku
Karanganyar-Solo, 29 Oktober 2010
/2/
semerbak melati sunyi di ruang kelana
beranda patah yang terjaga
romantika sepasang kekasih
berjelaga kian muram di tepi hati yang bersemi
rintik hujan membawa beberapa larik rindu
pada tebal bibir seorang pemanggul kata
ia taburkan sedikit kisah pada hidupnya
melati sunyi yang ranum
wajahnya mengental dalam hati
waktu berapa lama ia akan terjaga
menjaga yang ia cinta
duhai pemanggul kata
ikhlaslah memeluk erat
pertapaan rona jingga yang kian berat kala matahari berpendar cahaya
yang sunyi beralamat pada hati seorang saja
dia,
melati sunyi yang kurindu dan kunantikan suatu saat
Karanganyar-Solo, 30 April 2012
Taman Telah Sunyi
menghitung deru napasmu
berhamburan setiup-setiup seperti semerbak bunga taman beterbangan di udara
penuh seluruh memandang
tak ada lagi cerita-cerita tentangmu
yang seperti drama sinetron, katamu
kutunggu deru jejak di jalan itu
yang sering kita lewati bersama ketika senja menghangat
detik-detik habis pula kisah
taman telah sunyi
tiada lagi kudengar napasmu menggelora di telingaku
senja telah menggigil
pada ruh yang terpanggil
tak ada perkabungan
tak ada bunga kamboja sebagai pemisah jarak antara aku dan hasratmu
Karanganyar-Solo, 30 Oktober 2010
Catatan:
Dimuat Solopos, edisi Minggu 15 Mei 2011
Mencari Guru Sejati
/1/
dalam darah, dalam darah
mengalir suara-suara
sunyi menghantarkan detak yang berirama
jiwa merebah
dalam darah, dalam darah
Karanganyar-Solo, 25 Juli 2009
/2/
untuk kesejatian diri
sekerlip temaram
dalam sunyi
untuk mengadu hati
seluruh malam
sisa-sisa penghabisan
dalam relung hati yang kian terjal menelusuri eksistensi
Karanganyar-Solo, 03 Juni 2011
Ruang Sunyi, Distorsi Rindu
: Ibnu Purdiavril Nugroho (Sinyo April)
serupa apa rindu yang kita buat
bermalam-malam sunyi kadang kita renggutkan denting-denting sunyi
dan kepul asap secangkir kopi yang melekat
kita anyam puisi yang merona
di dalam rongga dada yang kasat
Ruang Maya,
Karanganyar-Solo, 25 November 2011
Sepi Selalu Tahu Cara Mendengungkan Puisi
: Lucia Dwi Elvira
puisi selalu tahu cara mengobarkan sepi, katamu
hujan yang bersendawa
menguliti rindu berkeping
di antara kesunyian mata kita
jiwa-jiwa terkikis beralaskan hening
dan datanglah para perangkai kata-kata, katamu
penabur sunyi
paling puisi
sepiku adalah sepimu
rinduku adalah rindumu
di gigir rona jingga berpadu
meruntuhkan dingin rindu beku
selama kita hening menuju
pada getir malam yang semakin mengendapkan ruang semu
puisi selalu tahu cara mengobarkan sepi, katamu
sepi selalu tahu cara mendengungkan puisi, kataku
Ruang Maya,
Jakal KM 14 Yogyakarta, 24 Oktober 2012
Bait Sunyi Perajut Kata
lebih deru mana cinta semu dan anggur yang memabukkan
hatinya menginginkan sebuah cinta dari adinda
sementara ada cinta bertepuk sebelah tangan
maka ia memilih anggur-anggur itu dari pada ia buta
lebih syahdu mana lagu romantika dan bait-bait sunyi perajut kata
tangannya menginginkan ketersampaian rindu-rindu hitamnya
sementara ada hati lain yang mencoba memikatnya
maka ia memilih jalan sunyinya sendiri tanpa ruh sang kekasihnya
Jakal KM 14 Yogyakarta, 16 Juni 2012
Kesunyian Ini Abadi
mencari mata
mencari pelangi
lama berjalan, bertepian
menyusur debu-debu dunia sunyi
merasakan api
merasakan beku
berdenyut nadi, mengalir maki
serupa lahar menuju laut mati
takkan kulepaskan walau sejenak
biarkan mereka tertawa terbahak
denting lonceng malam
hampa dan ingin bercerita
seolah ada deru cinta yang menggebu dalam dada
bahagia mana, lagu-lagu sunyi yang dipuja
dan gelap cinta buta
hampa dan mengulang cerita
segenap kesedihan menumpuk sesak di dada
Jakal KM 14 Yogyakarta, 17 Januari 2012
Adakah Sunyi Lagi
semalam sunyi mengepung diri
pada keping sunyi
hampir hilang
jejakmu selalu terpatri
senyummu abadi
serona ini
senja menyapa lagi
di kebalauan petang
semakin rindu lagi
semakin sirna diri
Jakal KM 14 Yogyakarta, 30 Mei 2012
Kesunyian Ini Masih Milik Kita
"…nasib adalah kesunyian masing-masing”. (Chairil Anwar)
mari berselancar dalam panas secangkir kopi
mengentalkan keringat malam (pagi) ini
menitis embun di ufuk fajar nanti
mengunyah nasib masing-masing yang berjejal dalam birahi
Karanganyar-Solo, 13 November 2011